Bahaya Overconfidence di Pilkada Jakarta: Menang di Putaran Pertama atau Tumbang di Putaran Kedua
TUJUAN pembahasan ini adalah untuk memberikan antisipasi dan mendorong persiapan maksimal bagi masing-masing calon
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Tulisan ini adalah kali kelima saya membahas Pilkada Jakarta dengan posisi tetap netral, tanpa keberpihakan kepada calon mana pun. Dalam artikel ini, saya akan mengulas topik “Bahaya Overconfidence di Pilkada Jakarta: Menang di Putaran Pertama atau Tumbang di Putaran Kedua.” Tujuan pembahasan ini adalah untuk memberikan antisipasi dan mendorong persiapan maksimal bagi masing-masing calon, mengingat waktu yang tersisa hanya 3 hari lagi menuju hari pencoblosan pada 27 November 2024, yang akan menentukan apakah Pilkada berlangsung dalam satu putaran atau berlanjut ke putaran kedua.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jakarta dimulai pada tahun 2007. Ada beberapa hal menarik dari Pilkada Jakarta, salah satunya adalah fenomena overconfidence atau rasa percaya diri berlebihan yang justru kerap berujung pada kekalahan. Selain itu, isu tentang Pilkada satu putaran juga menjadi perbincangan yang menarik, mengingat hingga kini Pilkada Jakarta belum pernah berlangsung dalam satu putaran.
Tentang fenomena overconfidence ini pernah terjadi pada Pilkada 2012, ketika Gubernur petahana Fauzi Bowo (Foke) maju kembali!
Di awal pencalonan, Foke diyakini akan dengan mudah meraih kemenangan. Berbagai hasil survei dari sejumlah lembaga menunjukkan elektabilitas, tingkat kepercayaan, dan kesukaan publik terhadap Foke sangat tinggi. Kondisi ini melahirkan rasa percaya diri berlebihan, baik di kalangan Tim Kampanye Foke maupun para pendukungnya, yang berkesimpulan bahwa kemenangan Foke sudah di tangan.
Sebagai tokoh Betawi, Foke kemudian dipasangkan dengan Nahrowi Ramli, sesama tokoh Betawi dan kader Partai Demokrat. Strategi ini awalnya dianggap memperkuat peluang kemenangan. Namun, hasil Pilkada justru di luar ekspektasi. Pasangan Foke-Nahrowi kalah dari pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pilkada Jakarta 2012 pun menjadi momen bersejarah, di mana Jokowi-Ahok berhasil merebut kursi Gubernur dan Wakil Gubernur untuk periode 2012–2017, menyingkirkan Foke yang semula dipandang tak terkalahkan.
Fenomena overconfidence atau kepercayaan diri berlebihan kembali terjadi pada Pilkada Jakarta 2017. Saat itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang menggantikan Jokowi setelah terpilih sebagai Presiden RI pada Pilpres 2014, maju kembali untuk Pilkada Jakarta.
Tim Kampanye Ahok sangat percaya diri bahwa Ahok akan memenangkan Pilkada, terlebih dengan keyakinan bahwa Jokowi, yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI, turut mendukungnya. Rasa percaya diri ini tampak begitu kuat sehingga mengabaikan potensi risiko dan dinamika di lapangan.
Namun, seperti kata pepatah, “Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak,” hasil dari overconfidence itu datang terlalu cepat. Ahok menghadapi sejumlah blunder fatal, termasuk kontroversi yang memicu kasus penistaan agama. Kasus ini tidak hanya mencoreng citranya, tetapi juga memicu gelombang protes besar yang pada akhirnya menggoyahkan peluangnya. Pilkada Jakarta 2017 pun berakhir dengan kekalahan Ahok, menandai titik balik yang tidak terduga bagi perjalanan politiknya.
Nampaknya fenomena overconfiden atau kepercayaan diri berlebih kali ini kemungkinan besar juga terjadi pada Pilkada Jakarta 2024. Jika kita melihat dukungan partai politik pengusung dari pasangan nomor urut 1 Ridwan Kamil (RK) dan Suswono (RIDO), sepertinya dapat dianggap Pilkada Jakarta 2024 sudah selesai.
Dengan dukungan partai-partai besar, dengan koalisi 13 partai termasuk partai pemenang Pilpres 2024, Gerindra dengan Ketua Umumnya Prabowo Subianto. Selain itu, mantan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), juga mendukung RIDO, sehingga di atas kertas pasangan ini diyakini akan menang.
Terbukti hasil survei elektabilitas awal, pasangan RIDO hasilnya melampaui angka psikologis di atas 51 persen. Namun saat ini kondisinya sepertinya berbalik, pasangan yang hanya didukung dan diusung oleh PDIP dan Hanura, yakni nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno, berbalik, elektabilitasnya menyalip pasangan RIDO. Berdasarkan hasil survei dari salah satu lembaga, elektabilitas Pramono-Rano telah nyaris melewati 51 persen.
Dukungan mantan Gubernur Anies Baswedan dan Foke diyakini berhasil mendongkrak elektabilitas Pramono-Rano. Beberapa catatan hasil survei elektabilitas sudah pernah saya sajikan.
Bahkan terbaru, ada hasil Survei Alvara Research Center yang menunjukkan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno, telah mencapai angka 49 persen. Untuk elektabilitas pasangan calon Ridwan Kamil (RK)-Suswono 44,5 persen dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana 1,9 persen. Sedangkan responden yang belum memutuskan pilihannya 4,6 persen. Survei ini dilakukan pada pemilih DKI Jakarta yang dilakukan Alvara pada 17-21 November 2024.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian serius bagi Tim Kampanye RIDO untuk cepat mengoreksi dan mengantisipasi hal buruk kekalahan yang mungkin bisa terjadi.
Dengan melihat kondisi tersebut di atas, saya berpendapat, bahwasanya bagi pasangan calon Gubernur Pramono Anung dan Rano Karno serta Tim Kampanye dari PDIP dan Hanura serta relawan, pilihannya adalah harus satu putaran. Artinya, Pilkada Jakarta harus menang dalam satu putaran atau kemungkinan besar akan tumbang di putaran kedua.
Sedangkan bagi pasangan Ridwan Kamil (RK) dan Suswono (RIDO), harus cepat mengantisipasi kemungkinan buruk, yakni Gerakan 13 mesin partai dan jaringan relawan secara maksimal untuk meningkatkan elektabilitas agar bisa tetap unggul, setidaknya bisa menang dan terjadi Pilkada Jakarta dua putaran. Jika memungkinkan, tuntas dalam satu putaran.